Banyak teori yang mengatakan bahwa sebenarnya manusia baru menggunakan kekuatan otaknya sebesar 5%. Lalu yang 95% kemana?

Saya mempunyai cerita yang saya alami sendiri. Meskipun ini tidak ada kaitannya dengan belajar Kanji atau ujian JLPT, namun saya berharap ini bisa menjadi sebuah motivasi untuk kita semua supaya terus maju dan tidak patah semangat dalam belajar.

Singkat cerita saya berada di Jepang sudah sekitar 2 tahun. Saya bukan seorang gakusei yang belajar bahasa jepang di sekolah bahasa ataupun di sebuah perguruan tinggi di jepang. Saya datang ke Jepang hanya menggunakan visa pemagangan yang itu artinya saya bekerja , akan tetapi digaji rendah. Walaupun bisa dikatakan ,pekerjaan yang saya lakukan sama beratnya dengan orang jepang. Pekerjaan yang saya lakukan saat ini adalah robot welding atau las robot. Pekerjaannya sangat mudah, hanya mengambil material, memasangnya di jig, lalu menekan sebuah tombol dan robotlah yang mengerjakan tugas pengelasan. Tapi yang membuat pekerjaan saya menjadi sangat berat adalah ketika saya harus melangkah lebih banyak dibandingkan bagian robot lain yang ditempati oleh sahabat-sahabat saya. Jika mereka hanya berjalan dengan melangkah 2-3 langkah, saya bisa berjalan 5-6 langkah dalam satu kali prosesnya. Karena alasan inilah banyak orang jepang yang tidak bisa bertahan lama bekerja di mesin tersebut.

Sebelumnya saya mengerjakan pekerjaan tersebut pada siang hari dan hanya bisa menghasilkan produk sekitar 135-140 pcs setiap satu jamnya. Namun satu minggu terakhir ini, saya dipindah sift menjadi sift malam dan anehnya saya bisa menghasilkan produk sekitar 145-150 pcs setiap jamnya. Saya pun heran kenapa bisa demikian, padahal jika dihitung jam kerjanya sama, tempat  kerja yang sama , robot yang sama dan proses yang sama.

Lalu sejenak saya pikirkan. Ternyata meskipun waktunya sama, ada hal yang membuat saya bisa membuat produk lebih dari yang saya pikirkan. Perbedaan mendasarnya adalah pola pikir.

Pada pekerjaan sift siang, kondisinya sangat berbeda dengan sift malam terutama atasannya. Sift siang atasannya tidak begitu banyak bicara dan tidak begitu membatasi saya dengan sebuah target. Jadi perjam saya hanya menghasilkan 135 biji pun tidak ada yang komplen. Padahal jika hitung, hasil tersebut masih sedikit daripada standart yang harus dicapai. Selain itu menejemen waktu yang saya lakukan pada sift siang, bisa dibilang sangat buruk. Satu kebiasaan buruk saya adalah saat jam kerja diantara dua waktu istirahat, sekitar 5-10 menit saya gunakan untuk pergi ke toilet. Ya memang itu sengaja saya lakukan karena saya termasuk tipe pemalas kalau soal bekerja. Bahkan saya mengakui proses kerja saya juga terlihat lambat. Sehingga jika di total, waktu saya untuk pergi ke toilet dalam satu hari bisa 4 kali atau total sekitar 15-20 menit. Karena saya rasa sayang sekali kalau waktu istirahat hanya habis digunakan untuk ke toilet. Toh atasannya juga tidak protes. Dan hal tersebut saya lakukan berulang-ulang dan akhirnya satu minggu yang lalu saya dipindah ke sift malam. Dan apa yang terjadi?

Atasannya sift malam sedikit kibishi. Baru kali ini ada atasan mempermasalahkan target produksi saya. Satu hari harus sekian dan sekian. Lalu waktu untuk pergi ke toiletpun juga tidak ada. Karena saat pergi ke toilet saya harus minta ijin kepada atasan. Kalau harus ribet minta ijin dulu sebelum ke toilet, lebih baik saya tahan sampai istirahat. Dan alhasil, ternyata saya bisa melampaui batasan yang saya anggap mustahil tersebut. Satu jam saya bisa menghasilkan 145-150 pcs produk, dan saya juga bisa melakukannya dengan lebih cepat dari pada saat sift siang. Dengan itu, saya bisa mencapai target sebelum waktu jam pulang.

Dari sepenggal cerita saya diatas, sebenarnya tidak ada yang luar biasa dalam diri saya. Dari dua waktu kerja yang berbeda saya bisa melakukan hal yang berbeda bukan karena kehebatan saya. Tapi ternyata masalah pola pikir.

Pola pikir yang saya lakukan pada pekerjaan siang yang saya lakukan adalah pola pikir orang biasa yang cenderung malas. Bisa jadi semua itu karena kondisi yang terlalu nyaman sehingga otak tidak bisa memaksa kinerja saya untuk bekerja lebih maksimal. Namun ketika berada pada kondisi yang kurang nyaman dengan sedikit tekanan, ternyata saya bisa menembus batas yang bagi saya sendiri itu adalah hal yang mustahil.

Hal ini juga sama dengan proses kita belajar. Apakah ada manusia yang terlahir langsung dibilang jenius? Tentu tidak bukan? Manusia yang jenius sekalipun mereka juga melakukan proses untuk menjadi jenius. Seandainya kita hidup satu jaman dengan Albert Einstein dan kita berada disekolah yang sama, atau bilang saja kita hidup di lingkungan yang sama dengan beliau, maka sebenarnya kita mempunyai peluang yang sama untuk menjadi jenius seperti dia. Hanya saja perbedaannya bukanlah volume otak atau bentuk otaknya yang berbeda. Namun cara menggunakan otaknya yang berbeda. Dan saya rasa volume otak manusia yang normal dibuat standar oleh Yang Maha Kuasa sebagai bukti ke-Maha Adil -annya. 

Jadi disitulah letak perbedaan kita dengan orang-orang jenius di luar sana. Jika mereka dulu saat masih belajar di taman kanak-kanak lebih suka membaca buku bergambar , mungkin kita justru lebih suka bermain lari-larian. Mereka yang saat sekolah dasarnya lebih suka bertanya mengenai pelajaran kepada guru, kita lebih suka mencontek saat ulangan. Lalu saat SMA mereka lebih suka belajar dan membaca informasi penting kita justru lebih suka menghabiskan waktu untuk facebook-an dan lain sebagainya. Saya kira hanya hal-hal yang seperti itulah yang membedakan kita dengan orang-orang hebat tersebut. Toh masalah ekonomi yang kurang, sebenarnya bukanlah masalah . Karena banyak orang-orang jenius tersebut justru datang dari keluarga yang kurang mampu. Tapi mereka tidak menyerah dengan keterbatasan itu. Mereka justru berusaha untuk menembus batas-batas tersebut dan membuat hal yang orang lain pikir mustahil menjadi mungkin.


Dan itu juga berlaku untuk kita semua. Tidak ada kata mustahil bagi kita selama kita berusaha. Mustahil hanyalah bagi orang-orang yang berhenti. Otak kita masih ada 95% yang siap digunakan untuk diasah. Tidak ada juga kata terlambat bagi kita, asalkan kita mau mencoba.

Kita semua sama. Mempunyai peluang yang sama. Yang berbeda hanyalah upaya. Takdir dari Tuhan pun saya rasa sesuai dengan apa yang kita usahakan. Dengan usaha dan doa insyaallah apa yang kita cita-citakan akan bisa terwujud. Semua kembali pada pikiran kita.

Akankah kita menggunakannya dengan maksimal? Atau dibiarkan saja melambat dan akhirnya berhenti?

Itu pilihan anda.